Faruk Oktavian
Kepala Bidang Hubungan Disnaker Kota Cilegon
KORAN MEDSOS - Setelah lama ditunggu kalangan serikat pekerja/buruh, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian materiil UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
Putusan bernomor 168/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) itu memuat 21 poin penting dalam amar putusannya diantaranya tentang pengupahan.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting terkait upah minimum yang berdampak signifikan bagi pekerja dan pengusaha di seluruh negeri. Putusan ini tidak hanya menjadi sorotan media, tetapi juga memicu diskusi luas di kalangan masyarakat, akademisi, dan pelaku industri.
Dalam artikel ini, kita akan membahas implikasi dari putusan MK tersebut serta harapan ke depan terkait upah minimum di Indonesia dan daerah-daerah lain tak terkecuali di Kota Cilegon.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2024 telah memicu perdebatan di kalangan buruh, pengusaha, dan pemerintah. Salah satu isu penting yang terangkat dalam putusan tersebut adalah tentang upah minimum.
Keputusan ini membawa dampak signifikan di Kota Cilegon khususnya.
Latar Belakang
Suatu proses pembangunan dapat dikatakan berhasil jika keluarga sejahtera.
Keberhasilan pembangunan terutama dalam mensejahterahkan keluarga perlu melihat aspek-aspek yang mempengaruhi upaya tersebut, terutama upah. Upah minimum memiliki peran besar dalam proses pembangunan di Kota Cilegon dimana kebijakan upah minimum merupakan sistem pengupahan yang telah banyak diterapkan di beberapa negara, yang pada dasarnya bisa dilihat dari dua sisi (Sulistiawati, 2013).
Pertama, upah minimum merupakan patokan utama sumber pendapatan tenaga kerja sehingga menjadi alat proteksi bagi pekerja untuk mempertahankan agar nilai upah yang diterima tidak menurun dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kedua, sebagai alat proteksi bagi perusahaan untuk mempertahankan produktivitas pekerja (Gianie, 2009).
Perkembangan upah minimum Kota Cilegon terbilang terus meningkat tiap tahunnya. Penetapan kenaikan upah minimum setiap tahunnya diharapkan agar setiap orang mendapatkan upah yang layak dan dapat digunakan memenuhi kebutuhan hidupnya,
karena dengan adanya kenaikan upah minimum dirasa sudah memenuhi kebutuhan layak hidup masyarakat di wilayah tersebut.
Sebelumnya, UU Cipta Kerja mengatur tentang penetapan upah minimum berdasarkan kinerja daerah dan faktor-faktor ekonomi lainnya. Namun, keputusan MK mengevaluasi kembali pengaturan ini dan memerintahkan agar upah minimum ditetapkan dengan lebih memperhatikan kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja
Kebijakan upah minimum yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan standar kebutuhan layak hidup, maka dari itu upah minimum merupakan upah bulanan terendah yang dapat diterima untuk memenuhi kebutuhan pokok seseorang.
Putusan MK yang baru-baru ini dikeluarkan menyatakan bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur tentang upah minimum tidak sesuai dengan konstitusi. MK menegaskan bahwa pemerintah harus memperhatikan kebutuhan hidup layak bagi pekerja dan keluarganya dalam menetapkan upah minimum.
Selain itu, MK juga menekankan pentingnya partisipasi pekerja dalam proses penetapan upah minimum
Dampak Putusan MK
Penundaan Penetapan UMK di Cilegon
Penyampaian Usulan Upah Minimum Kota Cilegon untuk Tahun 2025 kepada Pj. Gubernur Banten belum dapat dilakukan oleh Dewan Pengupahan Kota Cilegon.
Hal ini disebabkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara No. 168/PUU-XXI/2023 yang dikeluarkan pada tanggal 31 Oktober 2024, turut menyorot tentang kebijakan Upah Minimum di Indonesia, sehingga memerlukan beberapa penyesuaian yang masih didiskusikan di tingkat pusat.
Putusan MK ini juga menyebabkan pengesahan UMK yang biasanya dilakukan pada 30 November turut mengalami penundaan, Dewan Pengupahan Kota Cilegon yang di dalamnya terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, plus Pakar dan Akademisi dari Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, masih menunggu arahan resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia sebelum melanjutkan proses penyusunan Usulan UMK Kota Cilegon Tahun 2025.
Dewan pengupahan Kota Cilegon berkomitmen untuk mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan akan segera mengambil langkah setelah menerima petunjuk lebih lanjut berupa Peraturan Menteri Tenaga Kerja.
Reaksi dari Pengusaha
Beberapa pengusaha mengkhawatirkan dampak finansial dari kenaikan upah minimum. Mereka mungkin akan merespons dengan pengurangan karyawan, mengurangi jam kerja, atau malah berinovasi dalam efisiensi operasional.
Dengan adanya putusan MK ini diharapkan terjadinya perubahan yang signifikan dalam penetapan UMK di Kota Cilegon diantaranya : Pertama Perlunya Kerjasama dengan Serikat Pekerja/Buruh dan Pengusaha, Kerjasama antara pemerintah, serikat pekerja, dan organisasi pengusaha sangat krusial dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan upah minimum.
Dialog sosial yang konstruktif dapat membantu mencapai kesepakatan yang adil dan seimbang bagi semua pihak. Melibatkan perwakilan pekerja dan pengusaha dalam proses perumusan kebijakan akan menciptakan transparansi dan mengurangi potensi konflik yang mungkin muncul.
Dengan dukungan bersama, kebijakan yang dihasilkan akan lebih mudah diterima dan diimplementasikan dalam praktik sehari-hari. Kedua Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan, Ketersediaan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja menjadi salah satu faktor kunci dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Pemerintah perlu meningkatkan program pendidikan dan pelatihan vokasi secara berkelanjutan untuk memastikan bahwa angkatan kerja memiliki kemampuan yang relevan. Investasi dalam pengembangan sumber daya manusia tidak hanya akan membantu pekerja mendapatkan upah yang lebih baik, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan di pasar kerja akibat perkembangan teknologi dan inovasi baru.
Implikasi Putusan
Dengan adanya putusan ini, diharapkan Pemerintah Kota Cilegon akan lebih mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dalam menetapkan upah minimum.
Ini bisa berujung pada kenaikan upah minimum di Kota Cilegon, yang tentunya akan menguntungkan pekerja diantaranya : Pertama Perbaikan Kebijakan, Putusan MK juga mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap kebijakan ketenagakerjaan yang ada.
Kebijakan yang lebih berpihak kepada pekerja diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Kedua Dialog Sosial, MK menekankan pentingnya dialog antara pengusaha dan pekerja dalam menentukan upah minimum.
Hal ini bisa membuka ruang bagi kerjasama yang lebih baik antara kedua belah pihak, sehingga tercipta keseimbangan antara kepentingan bisnis dan hak-hak pekerja, Ketiga Dampak Ekonomi, Kenaikan upah minimum dapat berpengaruh pada daya beli masyarakat. Dengan meningkatnya pendapatan, diharapkan konsumsi masyarakat juga akan meningkat, yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
Kesimpulan
Dengan putusan MK ini, diharapkan ada perubahan positif dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja harus mendapatkan upah yang layak dan sesuai dengan kebutuhan hidup, sementara pengusaha juga diharapkan dapat beradaptasi dengan kebijakan baru ini tanpa mengorbankan kelangsungan usaha mereka.
Kebijakan upah minimum juga memiliki dampak yang signifikan terhadap potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Meskipun upah minimum bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja, kenaikan UMK yang terlalu tinggi dapat memicu PHK, terutama di sektor-sektor yang sensitif terhadap biaya.
Oleh karena itu, penting bagi Dewan Pengupahan Kota Cilegon untuk merancang kebijakan upah minimum yang seimbang. Dengan mempertimbangkan kebutuhan pekerja sekaligus mempertahankan daya saing perusahaan
Penting bagi semua pihak, termasuk pemerintah Kota Cilegon, pengusaha, dan pekerja, untuk bekerja sama dalam menciptakan Hubungan Industrial yang adil dan produktif. Dialog yang konstruktif dan kebijakan yang inklusif akan menjadi kunci dalam mencapai kesejahteraan bagi seluruh masyarakat
Penerapan kebijakan upah minimum yang adil dan berkelanjutan memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan kolaboratif. Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, melakukan penyesuaian berbasis data, serta memperluas jaminan sosial, pemerintah dapat menciptakan kerangka kerja yang menjamin kesejahteraan pekerja.
Selain itu, tantangan dalam menjalankan kebijakan ini harus ditangani melalui komunikasi yang efektif dan kesadaran publik yang terbangun. Melalui semua langkah ini, Cilegon berpotensi untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik, di mana kesejahteraan pekerja menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi. (*)
0 Komentar